Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa Jasa atau Pekerjaan) (Bag. 5)
Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya. Bahwasanya, ijarah (sewa menyewa) terdapat dua jenis. Yaitu, sewa menyewa benda atau aset dan juga sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’.
Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh bedanya dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan-permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka.
Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan
Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan
Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا
“….kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ ” (QS. Al-Kahfi: 77)
Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni.
Beliau mengatakan,
وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ
“Dari ayat tersebut menunjukkan akan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu.”[1]
Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6)
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas,
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى
“Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).”[2]
Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman,
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’ “ (HR. Bukhari no. 2270)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini,
فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ
“Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.”[3]
Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.
Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya
Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa.
Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini,
Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang
Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti,
Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.
Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. InsyaAllah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya.
Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.
Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah.
Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti.
Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.
Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah)
Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga kerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas.
Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa.
Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti,
Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan.
Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya. Baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti:
Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya.
Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak.
Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan.
Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
InsyaAllah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.”
Mudah-mudahan bermanfaat.
Wallahu A’lam.
***
Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok.
Depok, 12 Jumadilawal 1446 H / 14 November 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/101572-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-5.html